Survei nasional yang dilakukan Indo Barometer menemukan, mayoritas publik Indonesia relatif kurang puas terhadap kinerja parpol. “Tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, yang tidak puas 54,6%, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%,” ungkap Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari saat melansir hasil survey, “Multipartai Ekstrem atau Multipartai Sederhana? Sistem Kepartaian Menurut Publik Indonesia.”
Bisa dimaklumi bila rakyat tidak puas atas kinerja dari partai politik. Partai Politik yang seharusnya membela hak-hak rakyat melalui anggotanya di DPR dan Pengusa (Presiden dan perangkatnya) justru mengeluarkan banyak sekali kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Contihnya Kenaikan BBM, dimana hampir seluruh anggota DPR menyetujui kenaikan harga BBM ini.Kalaupun ada yang tidak setuju, perlawanan yang ditunjukkan tidak gigih, sekadar basa-basi. Kasus impor beras adalah contoh lainnya. Awalnya anggota DPR terkesan protes besar, lobi sana lobi sini, akhirnya damai.
Partai pembela rakyat tentu bukan partai yang mengambil jalan pragmatis.Bagi partai pragmatis, yang utama adalah kepentingan partai, khususnya individu anggota partai, bukan rakyat. Saat menjelang Pemilu partai ini biasanya mendekati rakyat dengan janji-janji. Tidak ketinggalan dengan hadiah kecil untuk mencari simpati, bagi-bagi kaos plus uang saku. Namun, setelah menjadi pemenang, wajah dan hatinya bukan lagi menghadap rakyat, malah berbalik kepada pemilik modal yang mendukung kemenangannya. Lahirlah kebijakan yang lebih pro pemilik modal daripada rakyat. Jangan berharap ada idealisme membela rakyat pada partai pragmatis seperti ini.
Partai pembela rakyat bukanlah partai yang berasas kapitalis-sekular. Rakyat Indonesia sudah berpengalaman dengan partai seperti ini. Berbagai penderitaan rakyat dulu dan sekarang justru terjadi saat Indonesia dikuasai oleh partai kapitalis-sekular. Lahirlah kebijakan-kebijakan kapitalis yang menyengsarakan masyarakat. Pemimpin dari partai kapitalis-sekular ini lebih memilih mengikuti instruksi IMF dan Bank Dunia daripada memperhatikan rakyat. Tuan besar mereka bukan rakyat, tetapi kapitalis asing.
Dari partai kapitalis-sekular ini lahirlah kebijakan yang pro-kapitalis seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU SDA UU Penanaman Modal, dll. Padahal UU seperti ini akan menambah beban rakyat. UU Migas yang mensyaratkan penghapusan subsidi BBM telah membuat BBM mahal yang berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Dengan UU SDA, air pun berpeluang dikuasai asing hingga air bisa menjadi mahal.
Sementara UU Penanaman Modal merupakan jalan tol bagi asing untuk merampok kekayaaan alam Indonesia. UU ini membolehkan perusahaan asing mengeksploitasi sektor-sektor strategis yang dalam Islam masuk dalam milkiyah ‘âmmah (pemilikan umum) yang sesungguhnya menjadi milik rakyat. Minyak, gas, emas, perak, yang kalau dikelola dengan baik oleh negara bisa menjadi sumber penghasilan utama negara justru diberikan sebagian besarnya kepada asing. Di sisi lain, Pemerintah selalu beralasan kurang dana untuk mengurus masyarakat.
Partai kapitalis-sekular ini tidak bisa diharapkan membela rakyat, karena mereka mendukung kebijakan privatisasi membabi buta yang menjadi kebijakan utama dalam sistem ekonomi kapitalis. Kecenderungan privatisasi itu sudah mulai menimbulkan korban pada rakyat. Privatisasi pendidikan telah membuat pendidikan menjadi mahal. Rakyat miskin pun kesulitan untuk mendapat pendidikan yang layak. Pelayanan kesehatan juga semakin mahal karena privatisasi.(bersambung)