dalam sistem demokrasi, keberadaan partai politik (parpol) idealnya merepresentasikan harapan dan aspirasi masyarakat, karena parpol yang bertarung dalam Pemilu memang dipilih oleh rakyat untuk mewakili mereka di lembaga perwakilan rakyat. Namun, fakta berbicara lain. Keberadaan parpol dalam sistem demokrasi sering tidak mewakili rakyat yang memilihnya, tetapi mewakili dirinya sendiri, para anggotanya bahkan para pemilik modal yang telah men-suport parpol dalam Pemilu.
Kenyataan ini bisa kita lihat di lapangan. Lembaga legislatif (DPR) maupun eksekutif (kabinet) yang notabene didominasi orang-orang parpol pilihan rakyat justru sering mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Sebut, misalnya, kebijakan mengenai kenaikan tarif BBM, listrik, telepon, jalan tol dll; juga lahirnya sejumlah UU pro-kapitalis seperti UU SDA, UU Energi, UU Penanaman Modal, dll yang notabene mengesampingkan aspirasi, kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Wajar jika kemudian, dari berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei di Tanah Air, rakyat memendam kekecewaan yang mendalam bahkan muak dengan keberadaan parpol-parpol yang ada, karena dianggap tidak peduli terhadap nasib dan penderitaan rakyat. Bahkan para wakil rakyat di DPR yang notabene didominasi orang-orang parpol itu sibuk memfasilitasi diri mereka sendiri dengan gaji dan insentif yang tinggi serta berbagai fasilitas yang serba mewah—tentu dengan uang rakyat—justru di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat.