Krisis Ekonomi Kapitalis : Siklus yang Berulang
Krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi di negeri ini, juga di negara lain. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu juga sudah memberikan warning tentang kemungkinan bakal muncul krisis ekonomi jilid 2. Bagaimana ini bisa terjadi ? Bagaimana pula solusinya yang sangat mendasar menurut Islam ? Untuk menjawab pertanyaan diatas , Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto memberikan pandangan yang tajam seputar persoalan ini. Berikut petikan wawancara redaksi dengan beliau.
Krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi di negeri ini juga negara lain. Krisis ekonomi kelihatannya menjadi siklus yang terus berulang secara berkala. Bagaimana menurut pandangan Ustadz?
Benar, krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu juga sudah memberi warning, tentang kemungkinan bakal munculnya krisis ekonomi jilid 2. Dan benar pula bahwa krisis ekonomi ini memang akan terus berulang secara berkala. Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku Ilajul Musykilah al-Iqtishadiyah bi al-Islam, menyebut krisis dalam sistem ekonomi kapitalis itu memang bersifat siklik. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah putaran menuju puncak untuk kemudian jatuh ke lembah krisis kembali. Begitu seterusnya.
Krisis ekonomi yang bersifat siklik itu terjadi di semua negara di seluruh dunia. Hanya saja, kurun siklusnya berbeda-beda. Untuk negara-negara maju dengan fundamental ekonomi yang cukup baik seperti Jepang atau negara di Eropa dan Amerika Serikat, kurun siklusnya sekitar 25 tahunan. Sementara Indonesia, Thailand dan negara serupa, kurun putarannya sekitar 7 tahun. Indonesia pernah mengalami krisis meski tidak terlalu parah di tahun 90-an. Perbaikan terus berlangsung, tapi pertengahan 97, seperti kita tahu, krisis ekonomi hebat melanda Indonesia. Setelah itu, seperti yang terjadi sebelumnya, di saat recovery belum lagi sempurna, goncangan kembali terjadi di sekitar tahun 2005, utamanya setelah kenaikan BBM. Menerus hingga sekarang. Ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan yang terus meningkat, pertumbuhan ekonomi yang melambat sehingga pengangguran terus membengkak.
Apakah itu memang menjadi karakter sistem ekonomi kapitalis?
Ya. Salah satu penyebab utama adalah adanya praktik riba dan judi, dimana keduanya itulah yang membentuk sektor non riil dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (dan juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran mereka, baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital harus menghasilkan uang. Dan “investasi” di sektor bukan produksi atau di sektor non riil, saat ini memang cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai ekonomi balon (bubble economy).
Ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Allais Maurice, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1997, yang melibatkan 21 negara besar, menunjukkan bahwa uang yang beredar di masyarakat (sebagai private goods) jauh lebih banyak dari pada yang berputar di sektor riil (sebagai public goods). Menurutnya, uang yang beredar di sektor non riil tiap hari mencapai lebih dari 440 milyar US dollar, sedang di sektor riil hanya sekitar 30 milyar US dollar atau kurang dari 10% nya. Dan yang paling menghawatirkan adalah adanya praktik kredit derivatif sebagai salah satu instrumen keuangan mutakhir. Menurut data Morgan Stanley (S. Sairin, 2002), nilai kredit derivatif pada Desember 1998 hanya Rp 500 trilyun, tapi pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 trilyun atau naik 47.000%. Hal ini membuat fungsi uang sebagai lokomotif penggerak kegiatan ekonomi tidak lagi efektif karena telah berubah fungsi menjadi komoditas. Bila beredarnya uang diharap akan menyebarkan kemakmuran dan mengurangi pengangguran, maka harapan itu kini tidak lagi dapat diujudkan.
Keadaan serupa terjadi di Indonesia. Ada lebih dari Rp 230 triliun dana masyarakat yang dikumpulkan oleh berbagai bank dengan susah payah, juga Rp 90 triliun dana milik Pemda seluruh Indonesia, yang ternyata idle (menumpuk tak bergerak) di Bank Indonesia. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Bila di tahun 2000, setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja, tahun 2003 menurun menjadi hanya 253.000, tahun 2001 turun lagi hanya 248.000, bahkan tahun 2006 lalu pertumbuhan 1% hanya membuka 42 ribu.(bersambung)
.