Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini nampak dalam bidang peradilan dengan diterapkannya hukum Islam sebagai hukum negara yg menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Sementara kerajaan Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat, Budha atau Hindu. Demikian pula di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680 M di bawah sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kyai Ali atau ki Ali yang kemudian disebut dengan kali (Qadhi yang dijawakan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhi pada permulaan dijabat oleh seorang ulama dari Mekah, tetapi belakangan setelah tahun 1651 qadhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik misalnya penentuan pengganti maulana Yusuf.
Demikian pula, Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan isteri seorang perwira. Sultan berkata: ‘mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari”. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.
Kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam I di Jawa sudah ada jabatan qodi di kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud juga mengakui adanya jabatan tersebut dengan sunan kalijaga sebagai pejabatnya. Di kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (hindu) menjadi peradilan surambi karena peradilan ini bertempat di serambi masjid agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini dihukumi menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa sultan Agung itu mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam dalam sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qadi atau hakim, sebagai imam masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Menurut Alfian deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya. Selain itu di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Secara umum di wilayah-wilayah Kesultanan Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (arab: qirad, mudharabah, mugharadhah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum perekonomian Islam. Ini menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi Islam pada masa kesultanan-kesultanan di Nusantara.
Dalam bidang hubungan luar negeri, TW Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu dari Malikus Saleh menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah atau pajak kepada kerajaan.
Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan akikah dan bersedekah kepada fakir miskin, mengkhitankan anaknya dan melakukan tata cara penguburan mayat mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum perkawinan berdasarkan fikih mazhab syafi’i. Kitab ini telah dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah kerajaan.(bersambung)